Melayu Jangan Layu di Tanah Melayu

Posted by

Andai Lee Kuan Yew (almarhum, mantan perdana menteri, pendiri sekaligus bapak pembangunan Singapura) lahir di Riau, mungkin dia akan memberontak terhadap Pemerintah NKRI, lalu mendirikan Negara Riau Merdeka (sebagaimana yang dia lakukan terhadap Pemerintah Federal Malaysia ketika mendirikan Negara Singapura). Dan, mungkin hari ini Riau telah menjadi salah satu negara termaju dan terkuat ekonominya di dunia. Singapura saja yang hampir tidak punya apa-apa dari sisi sumber daya alam, mampu dia sulap menjadi negara industri yang maju dan modern. Apalagi Riau yang kekayaan alamnya melimpah-ruah.
Tapi ini hanya berandai-andai. Faktanya belum ada orang Riau, khususnya lagi anak Melayu Riau yang berani membawa Riau keluar dari NKRI dan mendirikan Negara Riau Merdeka. Dulu, saat Kongres Rakyat Riau (KRR) II digelar pada masa-masa awal reformasi, tepatnya awal Februari tahun 2000, mayoritas peserta kongres memilih opsi Riau Merdeka. Tapi ternyata itu hanya omong kosong alias gertak sambal. Opsi Otonomi Khusus yang ketika itu digalang dan ditawarkan mantan Mendagri Letjend TNI (Purn) Syarwan Hamid kurang laku. Begitu juga opsi Negara Federal. Kini, boro-boro merdeka, otonomi khususpun tak kebagian. Sementara provinsi lain, seperti NAD dan Papua sudah lama mendapat dan menikmati status otonomi khusus.
Ya, Riau dan Singapura punya satu kesamaan. Sama-sama berdiri pada tanggal 9 Agustus. Hanya beda tahun. Riau sebenarnya lebih tua, berdiri secara resmi menjadi provinsi pada 9 Agustus 1957. Sementara Singapura berdiri menjadi negara sendiri lepas dari Federasi Malaysia pada 9 Agustus 1965. Tapi meski lebih muda, Singapura ternyata telah jauh meninggalkan Riau. Singapura telah menjelma menjadi negara industri modern. Walau dekat secara geografis, perbedaannya hampir ibarat siang dan malam. Riau masih terseok-seok mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang.
Riau memang kaya. Tak ada yang bisa menafikan itu. Hasil minyak bumi Riau pada tahun 1980-an pernah memberikan kontribusi mencapai 60 persen untuk devisa negara. Hari ini, meski secara kuantitas sudah menurun, tapi sekitar 40 persen minyak nasional masih disuplai dari perut Bumi Melayu Riau. Riau masih mampu memproduksi minyak sekitar 365 ribu barrel per hari (133,4 juta barrel per tahun) atau 40,7 persen dari produksi minyak nasional, yakni 895 ribu barrel per hari (314 juta barrel per tahun).
Ini belum kekayaan dari perkebunan kelapa sawit yang terluas di Indonesia. Ada sekitar 2,3 juta hektar, yang antara lain dimiliki masyarakat, pengusaha dan negara. Ini akan terus bertambah karena masih banyak lahan. Hasil kebun kelapa sawit ini diolah menjadi minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Bea keluar CPO dari Riau ini diperkirakan sekitar Rp13 triliun per tahun. Tapi sekali lagi bukan masuk ke kas Pemerintah Provinsi Riau, melainkan semua menjadi pemasukan Pemerintah Pusat. Tidak satu sen pun untuk Riau..!
Di Riau juga berdiri dua raksasa perusahaan pulp & paper, yakni Riau Pulp (RAPP) dan Indah Kiat (IKPP). Dua perusahaan bubur kertas terbesar di Asia Tenggara ini tentu juga membayar pajak yang sangat besar kepada negara. Lagi-lagi, tentu saja masuk ke kas Pemerintah Pusat.
Ini kita belum bicara tentang potensi dan kekayaan hutan Riau. Hutan Riau sampai hari ini, walaupun sering terjadi kebakaran hutan, tapi masih berfungsi menjadi paru-paru dunia. Kesehatan oksigen dunia salah satunya masih tergantung dan disuplai oleh hutan Riau. Kekayaan laut apalagi. Termasuk letak geografis Riau yang sangat strategis karena berada di pinggir Selat Melaka. Jalur perdagangan tersibuk di dunia. Masih banyak kekayaan alam Riau yang lain tentunya.
Tapi sekali lagi, kekayaan alam Riau yang melimpah-ruah itu bukanlah hak milik orang Riau seutuhnya. Riau hanyalah salah satu provinsi dari sekian banyak provinsi di tanah air yang harus tunduk kepada aturan yang berlaku di NKRI. Sebanyak apapun kekayaan alam di Riau, semua adalah hak milik dan dikuasai atas nama NKRI. Jadi tidak perlu heran, walau hasil kekayaan alam Riau telah berpuluh tahun memberikan kontribusi besar terhadap NKRI, ternyata di Riau sendiri masih ditemukan banyak daerah-daerah kumuh dan tertinggal. Masih ditemukan banyak orang miskin dan pengangguran. Sesuai data BPS, penduduk miskin di Riau masih sekitar 8,42 persen (2013) dan pengangguran sebesar 5,50 persen (2013).
Kalaupun kini, sejak orde reformasi, khususnya sejak terbitnya UU Otda dan UU Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, Riau sudah menerima dana bagi hasil (DBH) dari minyak. Tapi itu pun tak seberapa. Belum cukup untuk mengejar begitu banyak ketertinggalan. Apalagi DBH yang diberikan juga tidak menentu. Kadang naik, kadang turun. Pemerintah Daerah juga tidak dilibatkan dalam soal penghitungan DBH. Apalagi diberi kewenangan untuk mengakses data eksplorasi dan eksploitasi migas. Jadi juga jangan heran, seorang Gubernur Riau pun tidak bisa tahu berapa sesungguhnya hasil produksi migas di daerahnya, termasuk perkembangan harganya. Begitulah perlakuan yang diterima Riau.
Makanya, kembali berandai-andai. Andai Riau adalah negara sendiri yang berdaulat. Kemungkinan besar dengan hasil kekayaan alam yang melimpah-ruah itu, pasti sulit menemukan orang miskin atau terlantar. Jangankan orang bekerja, pengangguran pun bisa digaji oleh negara. Negeri Melayu Lancang Kuning mungkin lebih maju dari Dubai atau Arab Saudi, dua negara yang juga kaya akan minyak bumi. Tapi, ya ini hanya berandai. Faktanya, Riau adalah salah satu provinsi di Indonesia yang pada 9 Agustus 2015 ini genap berumur 58 tahun. Umur yang sudah cukup tua. Andai dia seorang PNS, tentu tahun ini sudah masuk usia pensiun.
Di tengah rasa ketidakadilan itu, barangkali otokritik tetap diperlukan orang Riau. Kebiasaan bertelaga antar sesama anak Melayu, ke depan mestilah ditinggalkan. Semakin orang Riau mudah dipecah-belah, semakin orang Riau akan menjadi penonton di tanahnya sendiri. Politik panjat pinang yang sering ditampilkan orang Riau, ikut menjadi penyebab minimnya orang Riau bisa berkiprah di tingkat nasional (Pemerintah Pusat). Sudah 58 tahun umur Provinsi Riau, baru ada dua orang yang mendapat kepercayaan menjadi menteri, Syarwan Hamid (Mendagri) dan HM Lukman Edy (Menteri PDT).
Bagaimana Riau bisa mendapat perlakuan yang berkeadilan dari Pemerintah Pusat, sementara orang Riau sendiri sangat minim berkiprah di sana. Tapi anehnya, kalau ada anak Riau yang kiprahnya mulai menasional, maka biasanya ada saja orang Riau sendiri yang berusaha menjatuhkannya. Ya, itulah politik panjat pinang..!
Di HUT Riau yang ke-58 ini, harapan kita tentu tak boleh sirna. Harapan akan Riau yang lebih maju dan terbilang haruslah tetap menyala. Mari kita dukung dan kita doakan agar para pemimpin Riau bisa melakukan berbagai terobosan demi mengejar berbagai ketertinggalan yang ada. Jangan sampai Melayu layu di Tanah Melayu...
Penulis : Erisman Yahya


IKUTI KAMI DI

Social Media Widget SM Widgets




Demo Blog NJW V2 Updated at: 08:40

0 comments:

Post a Comment